Arief Hamzah
Cofounder & DEO
haidup.id
Arief Hamzah
Cofounder & DEO
haidup.id
Mengenal Istilah
Ketunawismaan
Terselubung
🗓 Upload 1/06/23 ⏱ 6 Menit
Jika teman-teman sudah membaca bagian laman referensi, tentunya kamu sudah sedikit banyak memahami arti ketunawismaan pada kaum muda atau homeless youth. Kali ini ijinkan saya untuk mengulas salah satu istilah lagi yang masih berkaitan dengan homeless youth yaitu hidden homelessnes atau dalam padanan arti bahasa Indonesia-nya adalah ketunawismaan terselubung.
Apakah kamu pernah punya pengalaman kabur atau di usir dari rumah? Lantas menghubungi teman dan meminta tolong untuk dapat menumpang menginap di rumahnya sementara waktu? Dan karena keterbatasan ruangan di rumah teman tersebut, akhirnya kamu tidur di depan TV atau sofa? Well... saya juga pernah mengalami kondisi tersebut. 😅
Hanya saja contoh kasus tersebut adalah kasus accidental artinya dalam kondisi tiba-tiba, dan mendadak. Tapi bayangkan jika terdapat individu yang memang mengaplikasikan pola bertahan hidup dengan menumpang tidur dari teman ke teman, saudara ke saudara, dan rumah ke rumah kerabat selama periode tahunan dalam hidupnya. Syukur-syukur kalo ketemu sofa empuk, nah kalau dapat tumpangannya dikamar kost, bedeng, minim ruang privasi dengan lawan jenis hingga rawan akan tindak.... (gak kuat nerusinnya).
Individu tersebut memang tidak menggelandang di jalanan, atau tidur di emperan toko, tetapi tetap saja sejatinya ia adalah sosok seorang tunawisma.
Baik untuk diketahui dan dipahami terlebih dahulu jika pengkategorian masalah sosial memang berbeda antar negara, hingga lembaga-lembaga yang fokus menanganinya. Terkhusus untuk topik ketunawisamaan, Indonesia cenderung hanya mengacu kepada satu kategori yaitu gelandangan (eng: rough sleeping, roofless, bummer). Negara Asia yang mengacu kepada satu kategorisasi ketunawismaan berdasarkan kajian penulis sejauh ini adalah Malaysia, dan Jepang. Namun negara lain seperti Inggris, Kanada, Amerika Serikat, negera-negara rumpun Skandinavia, hingga tetangga Indonesia sendiri yaitu Australia telah memberikan kategorisasi dan kriteria kondisi ketunawisamaan yang lebih komprehensif demi keefektifan upaya penanggulangan masalah sosial tersebut.
Menurut Professor Ann-Marie Gray (2020) dalam risetnya bersama tim Ulster University Northern Ireland mendefinisikan ketunawismaan tersembunyi/ terselubung yaitu, orang-orang yang mungkin dianggap tunawisma tetapi situasinya tidak 'terlihat' baik di jalanan maupun dalam data statistik resmi, dan menerima fokus praktis yang jauh lebih sedikit daripada bentuk ketunawismaan lainnya yang jauh lebih mudah didokumentasikan.
Ahli lainnya dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia mendefinisikan sebagai berikut; contoh klasik tunawisma 'terselubung' meliputi, rumah tangga yang hidup dalam kondisi sangat padat, penghuni liar, orang-orang 'berselancar di sofa’ rumah teman atau kerabat, mereka yang secara tidak sengaja berbagi dengan rumah tangga lain dalam jangka panjang, dan orang-orang yang tidur di tempat tersembunyi (Fitzpatrick et al., 2016). Adapun menurut institusi dewan kota Leicerster Inggrirs (2015) mendefinisikan orang-orang tunawisma tersembunyi termasuk keluarga yang tunawisma, berisiko menjadi tunawisma, orang yang melarikan diri dari hubungan yang kasar (abusive), dan anggota keluarga yang tinggal (menumpang) di rumah kerabat hingga teman.
Dari ulasan tersebut diatas maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa remaja, atau individu usia muda (homeless youth) adalah individu yang juga tergolong sebagai sosok yang paling rentan menjalani kondisi ketunawismaan terselubung. Lantas apa peran pemangku kebijakan, dan khususnya para pelaku profesi pekerja sosial baik pada seting makro, mezzo, dan mikro di Indonesia dalam menyikapi kondisi tersebut?