Salah Satu Dampak Pernikahan Dini: Hidup Dalam Kerentanan Ketunawismaan
Blog | Edukasi | Refleksi
Oleh: Lyana AngelCewek 22 thn, dari keluarga broken home sekaligus Ibu dari seorang putri, tinggal Jakarta timur.
ϟ Upload 10/01/24 ⏱ 4,1 Menit
Sebagai pengantar tulisan perdana saya di blog haidup ini, saya bakal menceritakan runtutan kejadian awal hingga pada akhirnya beneran meniatkan diri untuk mengirim tulisan artikel ini.
Semuanya berawal dari malam tahun baru 2024 lalu saat story teman membagikan postingan akun Instagram haidup.id yang viral tentang kondisi suatu rumah pasutri dengan satu anak. Saat melihat story tersebut dan kemudian menuju akun haidup tuk menonton versi lengkapnya, aku cukup kaget bahwa "kok mirip banget yah sama cerita/ pengalaman gw" hehehehe. 😅
Meskipun di caption video tersebut gak diceritain detal latar belakang cerita usia pernikahannya apakah di usia belasan tahun seperti saya, tapi saya benar-benar relate banget sama pemandangan di video tersebut. Saya juga terharu lihat keluarga di video itu, ahhh pokoknnya top banget mereka masih semangat menjalani hidup.
Singkat cerita saya justru lanjut kepo2 soal haidup, mereka tuh akun apa, konten kreator hiburan kah, atau EO mandi lumpurkah ✌️, dan setelah baca-baca di web nya ohh ternyata cukup serius bahkan serius banget kalau menurut saya. Kemudian sempet chat via WA dan jreng ditawarilah buat nulis/ ngirim artikel (kan lumayan hadiahnya kalo ditayangin).
Balik lagi ke laptop dan topiknya; pernikahan dini yang dipicu oleh berbagai faktor seperti tekanan keluarga, adat, agama, faktor ekonomi, dan juga permasalahan pergaulan sosial dapat memberikan beberapa dampak yang mendalam pada para individu yang menjalani ikatan pernikahan itu sendiri.
Berikut ini adalah poin-poin penting rentetan dampak pernikahan dini hingga akhirnya pasangan tersebut (termasuk pula anaknya) dapat saja hidup dalam kerentanan ketunawismaan hingga (amit2) berakhir di jalanan.
Terputusnya Sekolah
Pasangan yang menikah pada usia dini sering kali terpaksa menghentikan/ terhenti jenjang sekolahnya. Penyebab utama terhentinya bersekolah pada umumnya adalah karena adanya kehamilan dan proses persalinan yang harus dilalui di tengah jadwal sekolah masih berlangsung.
Faktor lainnya bisa juga disebabkan karena adanya stigma/ label negatif dari lingkungan sekolah, teman sebaya, termasuk dari tenaga pendidik yang juga akan dijelaskan pada poin berikutnya.
Aktivitas paska persalinan seperti periode waktu pemulihan sang ibu, menyusui anak, mengurus dokumen anak, kartu keluarga baru, termasuk mahalnya biaya pendidikan swasta yang akhirnya membuat pasangan tersebut tidak bisa segera kembali melanjutkan pendidikannya.
Rendahnya jenjang pendidikan yang terselesaikan dan rendahnya tingkat keterampilan seringkali membuat pasangan muda tersebut tersisih dalam upaya mencari kerja dengan gaji yang memadai. Akhirnya lowongan pekerjaan 'seadanya & sedapetnya' terpaksa dilakoni asal tetap dapat bertahan hidup hari demi hari.
Stigma & Diskriminasi
Seperti yang disebutkan poin sebelumnya, pasangan yang menikah dini seringkali menghadapi stigma sosial dan diskriminasi di lingkungan sekolah, rekan sebaya, masyarakat, lingkungan rumah, hingga dari pihak keluarga besar.
Masyarakat sering menilai mereka sebagai kelompok (pemuda-pemudi) yang tidak bertanggung jawab dalam perencanaan masa depan, beban keluarga, termasuk yang paling pahit adalah di cap rusak moral/ akhlaknya.
Stigma tersebut begitu terasa sangat menyudutkan tidak hanya di dunia nyata, bahkan di sinetron pun juga dapat membawa emosi penonton ikutan gemes. Seperti pada sineteron Pernikahan Dini yang dibintangi Agnez Mo tahun 2001 (saya belum lahir) 😅 tapi kebetulan saya sudah nonton di youtube (namanya juga ibu muda dirumah jagain anak), jadi buktiin sendiri deh soal stigma di sinetron itu.
Ekonomi Tidak Stabil
Kebanyakan pasangan yang menikah di usia dini memiliki kondisi ekonomi yang belum stabil, pas-pasan, atau kurang mencukupi, terlebih lagi jika keduanya sama-sama berasal dari (maaf) keluarga yang kurang mampu atau dibawah garis kemiskinan.
Kurangnya dukungan sumber daya finansial dari orang tua sebagai modal awal menjalani bulan/ tahun awal pernikahan dapat memicu konflik internal pasangan itu sendiri, sedangkan di satu sisi pasangan tersebut juga belum mendapatkan pekerjaan atau bahkan sang wanita tengah mengandung anak pertama.
Kestabilan ekonomi atau finansial tentunya sangat dibutuhkan pasangan muda ini dalam memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, dan juga kesehatan. Terkhusus untuk papan atau hunian, pada realitanya memang membutuhkan dana yang tidak sedikit agar bisa mendapatkan hunian yang sahat dan layak.
Ketersedian Hunian Yang Layak
Untuk bisa mengontrak rumah di Jabodetabek saja (berdasarkan pengalaman saya sendiri yang sudah malang melintang Bekasi, Bogor, Depok, & kini Jaktim) kebanyakan harus membayar sekian bulan dimuka sekaligus. Dan meskipun tersedia kontrakan petakan yang dapat bayar bulanan, seringkali kualitasnya tidak bergitu layak atau berebut antrian jika memang ada kontrakan yang nyaman dengan harga terjangkau.
Para pasangan muda seperti saya ini juga seringkali terjebak simalakama antara hunian dengan pekerjaan. Maksudnya adalah sebuah pilihan sulit dimana "mau ngontrak dekat tempat kerjaan tetapi sewanya mahal", atau "cari yang sewa murah tapi jauh dari tempat kerjaan alias boros ongkos", atau "yang penting dapet tempat tinggal dulu deh, masalah kerjaan bisa dicari (baca: posisi menganggur)".
Dengan adanya berbagai kombinasi kondisi tersebut diatas, pasangan muda ini dan anak-anak mereka tentunya berisiko tinggi menjadi tunawisma karena ketidak berdayaannya untuk mengakses hunian terjangkau yang layak dengan lingkungan yang sehat.
Isu Mental Health
Poin terakhir yang tak kalah pentingnya adalah pasangan yang menikah pada usia dini mungkin belum siap untuk menanggung beban tanggung jawab keluarga. Ini dapat menyebabkan stres yang berlebihan dan gangguan psikologis, seperti depresi dan kecemasan dan gangguan kesehatan mental lainnya. Kondisi psikologis yang tidak stabil dapat menjadi faktor tambahan yang memperburuk situasi pasangan ini di tengah kerentanan ketunawismaannya.
Sebagai penutup saya mengutip lirik lagu dari Agnez Mo; "Pernikahan dini bukan cintanya yang terlarang, hanya waktu saja belum tepat merasakan semua." Semoga tulisan ini bermanfaat yah. 🥰